Jumat, 17 Juni 2011

Tindak Pidana Terorisme

Pengertian Terorisme

Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata “terrere” yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan.[1]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik.
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorime yang dimaksud dengan terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan meksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harrta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara luas, sehingga terjadi kehancuran teradap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional. 
B   Karakteristik Terorisme
Menurut Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme dapat ditinjau dari empat macam pengelempokkan yang terdiri dari:
a.       Karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional. Karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik, dan kolusi.
b.      Karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerah hiudp-hidup.
c.       Karakteristik sumber daya yang meliputi: latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.
d.      Motif terorisme yang terinspirasi oleh motif yang berbeda yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya.
      Bentuk-Bentuk Terorisme
 Terdapat beberapa bentuk terorisme, bentuk itu antara lain; teror kriminal dan teror politik. Teror kriminal ini biasanya bertujuan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri.  Teroris kriminal, bisa menggunakan kekerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis. Sedangkan teror politik, selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil; laki-laki, perempuan, dewasa atau anak-anak dengan tanpa pertimbangan politik atau moral. Sedangkan terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) memakai pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana tujuan tertentu, (2) korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “ bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”, (3) target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas, (5) pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak menyatakan diri secara personal, (6) para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup keras, misalnya berjuang untuk agama dan kemanusiaan.[2]

       Subjek Hukum Tindak Pidana Terorisme
Sujek hukum tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 dapat dilakukan oleh manusia atau perseorangan. Dalam rumusan Pasal tersebut menyatakan bahwa subjek pelaku dalam tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang didefinisikan sebagai  seorang, beberapa orang atau korporasi dan kelompok tersebut terdiri dari orang sipil ataupun militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.
Seseorang atau setiap orang (beberapa orang atau korporasi) sebagai subjek tindak pidana terorisme dipertegas dalam rumusan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi
 “setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup, atau fasiitas public, atau fasilitas international, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”

E    Pertanggungjawaban Tindak Pidana Terorisme
 Dalam hal pertanggungjawaban pidana unsur yang paling fundamental adalah unsur kesalahan yang berarti kesalahan karena melanggar Undang-undang terorisme. Untuk mengetahui siapa saja yang dapat dikenai pertanggungjawaban tindak pidana terorisme dapat dilihat melalui hierarki organisasi terorisme. Menurut Faser dan Fulton, organisasi terorisme terdiri dari beberapa hirarki sebagai berikut:
 Hirarki pertama, merupakan hirarki tertinggi dalam suatu organisasi yang terdiri dari para pemegang kendali operasi tersebut termasuk menyusun rencana dan menetapkan tujuan, pengawas dari sebuah organisasi teroris. Seperti Amrozi dan Ali Gufron yang diduga atau disangka sebagai perencana pengeboman di Sari Club Legian Kuta Bali beberapa tahun yang lalu. Juga Imam Samudera kelompok teroris Banten yang disebut sebagai perencana penentu sasaran dan pengendali operasi tersebut. Ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan pada masing-masing mereka adalah hukuman mati berdasarkan Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan pasal-pasal yang dapat dikenakan pasal 6, 13, dan 15 Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme.
Hirarki kedua, ditempati oleh para kader aktif yang merupakan pelaksana lapangan aksi-aksi terorisme. Setiap kader biasanya menguasai satu atau lebih keahlian. Misalnya keahlian merakit bom, keahlian bahasa, dan keahlian mengoperasikan teknologi komunikasi. Contohnya adalah Ali Imron yang diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme sekaligus menjadi seorang yang ahli merakit bom.
Selanjutnya yaitu hirarki ketiga yang ditempati oleh para pendukung aktif. Tugas utama pendukung aktif adalah menjaga kelangsungan para kader aktif di lapangan. Untuk itu mereka biasanya memelihara jaringan komunikasi, menyediakan tempat persembunyian, melaksanakan kegiatan intelejen dan menyediakan dukungan logistic dan pendanaan. Ancaman hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka menurut Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah hukuman penjara selama 15 tahun. Pasal yang dapat dikenakan yaitu pasal 6, 7, jo Pasal 11, 13 Undang-undang no 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hirarki keempat, didukuki oleh para pendukung pasif. Mereka yang sebenarnya tidak secara langsung menjadi anggota suatu organisasi teroris dan kebanyakan digunakan atau dimanfaatkan para anggota kelompok teroris tanpa mereka sadari.[3]
 Sedangkan Pasal 17 dan 18 mengatur pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yang meliputi badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain.
 Rumusan pasal 17
1)      dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, maka tuntutan atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan /atau pengurusnya.
2)      Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja mapun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebu baik sendiri maupun bersama-sama.
3)      Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Pasal 18
1)            Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
2)            Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah).
3)            Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. 



[1] Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme Perspekstif Agama, HAM, dan Hukum,(Bandung:PT Rafika Aditama,2004)cet ke empat,hal 22
[2] Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum,hal 38
[3] Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum,hal 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar