Senin, 06 Juni 2011

Analisa Kasus Debt Collector Melalui Pendekatan Kriminologi

A.    Tinjauan Mengenai Teori Kriminologi Interaksionis
Pemikiran interaksionis menekankan bahwa penyimpangan bukanlah ciri khas orang yang melakukanya, tetapi merupakan ciri yang dibuat oleh orang lain yang melihatnya. Ciri yang dibuat ini merupakan tanggapan terhadap tingkah laku orang lain yang kemudian disebut sebagai menyimpang. Konsep penyimpangan ini menurut pemikiran interaksionis bahwa penyimpangan itu dapat merugikan orang lain secara fisik dan materi dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan moralitas masyarakat.[1]
Menurut Michalowski, bahwa kriminalitas adalah kategori yang dibuat menurut kacamata orang yang melihatnya dan tingkah laku tertentu disebut dengan kejahatan karena orang yang melihatnya merumuskan dan memberikan reaksi sesuai dengan dikategorikannya perbuatan tersebut sebagai kejahatan. Oleh karena itu, menurutnya kejahatan dalm teori ini didapati setelah adanya interaksi antara pelaku dan pengamat yang kemudian menghasilkan label kejahatan. Label tersebut diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam tingkh laku yang disebut sebagai kejahatan. Karena pemikiran ini memandang kejahatan atau penyimpangan berdasar kepada penilaian orang lain, maka ciri khas dari pelaku kejahatan tersebut adalah bagaimana cara kita melakukannya. Dengan demikian, menurut pemikiran interaksionis, kejahatan bersifat relatif. Tidak ada kategori benar dan salah.
Aliran pemikiran intreraksionis juga identik dengan aliran pemikiran labeling atau suatu pendekatan reaksi sosial terhadap kejahatan. Michalowski menyebutkan bahwa aliran pemikiran interaksionis memiliki asas-asas sebagai berikut:
1.      Kriminalitas bukan merupakan ciri yang melekat pada perilaku, tetapi merupakan respon terhadap perilaku tersebut. Suatu perilaku merupakan kejahatan hanya karena pengamat yang potensial memberikan respon seperti itu.
2.      Perilaku yang direspon sebagai kejahatan, diberi label kejahatan. Dengan merespon suatu perilaku sebagi kejahatan kita memperlakukan perilaku tersebut sebagai perilaku yang berbeda dengan perilaku lain.
3.      Setiap individu yang perilakunya dicap sebagai kejahatan juga di cap sebagai penjahat.
4.      Orang-orang dilabel sebagai penjahat melalui proses interaksi. Label hanya dapat diterakan melalui proses interaksi yang melibatkan baik pengamat maupun pelaku.
5.      Terdapat kecenderungan bagi setiap orang yang dicap sebagai penjahat mengidentifikasi sebagai penjahat.    
  
Para penganut teori labeling memandang para kriminal bukan sebagai orang yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan salah tapi mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas.

B.     Kaitan Sebuah Kasus Kriminal Dengan Teori Interaksionis Atau Labeling
Terjadi kasus pembunuhan yang menimpa Irzen Octa (50), setelah berurusan dengan debt collector karena permasalahan hutang kartu kreditnya dengan sebuah bank asing. Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa (PPB) itu tewas setelah,kedatangannya ke kantor Collector Citibank di Menara Jamsostek Jakarta Selatan, pada Selasa 29 Maret 2011
untuk menanyakan jumlah tagihan kartu kredit yang membengkak hingga Rp100 juta. Padahal, menurut Irzen, tagihan kartu kreditnya di Citibank hanya Rp48 juta.
"Saat itu korban tidak mendapat penjelasan mengenai tagihan kartu kredit Citibank, malah korban dibawa ke ruang bagian penagihan dan dipaksa oleh debt collector untuk membayar. Bahkan disiksa dalam kantor itu, dan korban meninggal dunia di halaman Menara Jamsostek," papar Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Budi Irawan di Jakarta, Kamis (31/3/2011).
Saat ini, sambung Budi, sudah ditetapkan tiga tersangka yakni H dan D (keduanya petugas bagian penagihan alias debtcollector Citibank, serta B karyawan Citibank bagian penagihan). Ketiganya sudah dijebloskan ke penjara sejak kemarin.
"Sejumlah barang bukti berupa gorden yang ada bercak darah, visum, dan keterangan tersangka sudah menguatkan tuduhan kasus pembunuhan itu," tegasnya serius.
Bahkan, dari pemeriksaan lima orang saksi, polisi mencurigai ketiganya melakukan tekanan secara fisik dan psikologis terhadap Irzen. Mereka dijerat dengan Pasal 351 dan 170 KUHP tentang penganiayaan.
"Tersangka masih bisa bertambah, kami lihat saja nanti hasil pemeriksaan. Bagimana cara-cara kekerasan itu dilakukan, saat ini jadi fokus kami, apalagi di kantor collector Citibank itu banyak orang," ujarnya.[2]
Tim dokter forensik yang dipimpin dr Mun'im Idris menemukan ada bekas memar pada sekujur tubuh almarhum Irzen Octa, korban kekerasan debt collector Citibank. Sementara, hasil otopsi ulang selama 2,5 jam itu memperoleh beberapa temuan baru yang berbeda dari visum ahli forensik sebelumnya.
"Kita temukan memar di sekujur tubuh. Sudah jelas ada luka akibat kekerasan tumpul," ujar Mun'im Idris usai melakukan otopsi di TPU Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, Rabu 20 April 2011. Dijelaskan Mun'im, misi dari otopsi ini memang untuk menemukan ada tidaknya kekerasan yang menimbulkan luka pada korban. Sehingga ditemukan pendarahan di otak seperti yang diterangkan hasil visum dokter sebelumnya, Ade Firmansyah.
Ahli forensik yang pernah menjadi saksi ahli dalam kasus Antasari Azhar ini mengaku menemukan masalah yang tidak ditemukan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya. Selain itu, memar yang ditemukan di tubuh jenazah Irzen antara lain ada pada bagian perut, lengan, tungkai dan juga kepala. Semua luka memar itu ditegaskan Mun'im akibat  kekerasan benda tumpul yang dapat memicu kematian.
Seperti diketahui, kasus kematian Irzen Octa dipastikan akan berlanjut ke ranah hukum. Keluarga mendaftar gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menuntut ganti rugi kepada Citibank. Melalui pengadilan, keluarga menuntut Citibank agar membayar ganti rugi senilai 3 Triliun Rupiah. Gugatan itu dilayangkan karena keluarga menilai tindakan penagihan utang  (debt collector) bank tersebut mengakibatkan kematian orang yang menjadi kepala keluarga dan memiliki tanggung jawab atas keluarga, istri, dan anaknya. Atas dasar tindakan melawan hukum yang dilakukan tergugat, maka keluarga mengalami kerugian materiil maupun immateriil. Karenanya, keluarga menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp1 triliun dan immateriil Rp2 triliun. Dalam kasus kematian Irzen Octa, Kepolisian Resor Jakarta Selatan telah menetapkan lima tersangka. Mereka terdiri atas dua karyawan Citibank berinisial BYT dan A. Sementara tiga lagi adalah debt collector bernisial H, D, dan HS.
Kelima tersangka dikenai pasal berlapis, yakni pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan dan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan bersama dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman pidana penjara lebih dari lima tahun. Selain itu, tersangka juga dikenai pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan seseorang dengan ancaman hukuman penjara 12 tahun juncto pasal 359 tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.[3]

C.    Analisis Kasus Debt Collector Melalui Pendekatan Kriminologi
Debt Collector, yang disingkat DC adalah suatu profesi dari seorang yang bekerja sebagai penagih hutang yang mana ada hubungannya dengan pihak ketiga, dan selama profesi itu terdapat badan hukumnya maka bisa dikatakan bersifat legal, manakala klien yang memakai jasa DC bisa diberi jaminan ketenangan dan kepercayaan kepada DC untuk melaksanakan tugas-tugas dan langkah-langkah mereka di lapangan, agar tidak ada ekses hukum atau tindakan kriminal yang akan timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas DC, namun kesemuanya itu bisa terlaksana berkat metode-metode serta trik-trik DC dalam menyelesaikan tugasnya di lapangan. Perlu juga di ketahui bahwasannya BI (Bank Indonesia) pun tidak pernah melarang dan juga tidak menyarankan pada lembaga-lembaga perbankan atau finance untuk memakai pihak ketiga. Sehingga legalnya DC yang notabene berbadan Hukum itu Sah-sah saja ada di tengah-tengah masyarakat,selama perusahaan agen DC tersebut tidak Melanggar aturan yang ada[4].
Antara lembaga perbankan dengan debt collector seakan memiliki sifat simbiosis mutualisme, yaitu antara perbankan dengan DC memiliki keterkaitan yang sangat erat. Karena satu sisi, bank dapat memperoleh uang sebagai haknya yang belum dipenuhi oleh debitur. Sedangkan satu sisi lain, hal ini pun menjadi lahan subur bagi para DC untuk memperoleh pernghasilan. Perlu diakui bahwa pihak perbankan sebenarnya melirik sistem pengadilan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang. Namun karena proses pengadilan yang rumit serta biaya yang terkadang tidak sesuai dengan hasil yang didapat, maka pelaku perbankan ini pun memilih menggunakan jasa DC untuk meluruskan problem piutangnya. Karena menurut pelaku perbankan, DC sangat membantu karena dapat menyelesaikan masalah piutang yang relatif lebih cepat dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%.
Akhirnya terdapat sedikit titik terang mengenai problem penyelesaian sengketa utang piutang ini dengan terbitnya Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Dalam peraturan ini, BI menjamin proses penagihan akan lebih cepat dan efisien daripada menempuh jalur pengadilan. Mediasi ini mempertemukan antara kedua belah pihak yang bersengketa dengan didampingi seorang mediator. Berbeda dengan proses pengadilan yang bersifat terbuka, mediasi yang digagas BI ini bersifat tertutup termasuk semua bentuk komunikasi, negosiasi, dan pernyataan selama proses mediasi berlangsung. Namun kelemahan terbesar dari sistem mediasi perbankan ini adalah hasil dari mediasi tidak memiliki kekuatan yang sama seperti putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Sehingga tidak ada upaya banding jika dikemudian hari terdapat pihak yang dirugikan. Namun, hal ini sebenarnya adalah bentuk upaya dari pihak perbankan untuk memberikan jalan bagi penyelesaian piutang dengan cara lebih elegan, humanis, dan beretika. Sekaligus meminimalisir akibat yang selama ini ditimbulkan karena proses penagihan hutang yang dilakukan oleh DC.
Segala sepak terjang DC sebagai juru tagih, sebenarnya tidak secara tegas diatur dalam undang-undang. Namun, dengan prinsip pemegang kuasa yang diatur dalam hukum perdata mengenai penyelasaian hutang piutang, maka para DC ini dapat melaksanakan profesinya. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia pun menerbitkan peraturan yang melegalkan pihak kreditur menggunakan jasa penagih hutang yang dalam hal ini adalah DC. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Peraturan Bank Indonesia) jo Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat  Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 SEBI. Dalam PBI dan SEBI ini, diatur bahwa:
 Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu ;
1.      Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri ;
2.      Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet ;
3.      Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum ;
4.      Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
Dalam melakukan penagihan hutang para DC memiliki cara-cara baku dalam tahap-tahap tertentu ketika mereka mendapatkan orderan penagihan. Ada proses tawar menawar harga melalui proses perhitungan yang matang jika ada uang operasional yang ditanggung dari pemberi order berarti komisi dari jumlah penagihan berkisar 20-25% menjadi milik Penagih, pemberian 5% untuk Si Bung (sebutan untuk kepala kelompok DC). Tetapi apabila tidak ada uang opeasional dari yang punya orderan, maka komisi dan uang operasional diambil dari hasil tagihan yang berkisar 30- 35%. Sedangkan untuk jasa pengalihan lahan biasanya perhitungan harian dimana sehari Rp.50.000 - Rp. 100.000 tergantung berat ringannya kasus karena menyangkut taruhan nyawa. Apabila telah ada kesepakatan antara yang mempunyai hutang atau yang mempunyai lahan, mereka atau komunitas ini hanya memohon Surat Kuasa sebagai legalitas dan foto kopi surat-surat hutang-piutang, atau bukti-bukti transaksi lainya. Hal ini sebagai kekuatan baginya untuk melakukan pekerjaan ini.  Cara kerja DC melalui proses dan jenjang dari sopan hingga batas tolerir yakni; DC datang ke rumah tagih secara sopan dan baik-baik terus menetapkan tanggal bayar, pada tanggal jatuh tempo tersebut mereka akan kembali hadir namun mereka sudah melaporkan diri ke polsek terdekat serta RT/RW dimana rumah tagih itu ada, apabila belum dilakukan pembayaran mereka akan menunggu di rumah tagih tesebut, apabila yang bersangkutan tidak ada mereka akan menelpon dan menggertak bahkan mereka akan datang ke tempat kerja dari si penghutang hingga mendapatkan kesepakatan tertentu tetapi apabila tidak ada kesepakatan maka para Debt Collector akan mengambil barang-barang berharga tertentu yang senilai dengan jumlah hutang tersebut, apabila telah di lakukan pelunasan maka barang jaminan akan di kembalikan.[5]
Sikap inilah yang dianggap oleh para Penghutang bahwa sangat meresahkan dan dianggap sebagai sikap premanisme namun komunitas ini menolak untuk dikatakan sebagai preman karena mereka memiliki Surat Kuasa sebagai legalitas atau dasar hukum untuk melakukan tugas atau jasa ini. Dan bahkan masyarakat memohon kepada Kapolri waktu itu dipimpin oleh Jenderal Sutanto memberlakukan program penumpasan Premanisme di Indonesia. Banyak orang berharap agar bukan saja premanisme jalanan dan konvensional yang di tumpas tetapi mereka menggeneralisir agar komunitas ini pun ikut di tumpas. Pemikiran ini sebenarnya sangat keliru karena jasa komunitas ini pun membantu pihak bank-bank baik itu swasta maupun Negara sehingga peran mereka sebenarnya tidak salah tetapi sebaiknya diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang jasa penagihan karena hal ini menyangkut sistim perbankan yang ada di dalam Negara kita, sehingga tidak dapat di salahkan apabila komunitas ini ada karena mereka mampu melihat peluang atau menciptakan peluang kerja guna mengatasi problem lapangan kerja baru. Debt Collector bukanlah sebuah kutukan tetapi ini adalah peluang sesuai dengan karakter diri dimana mungkin alam dan kondisi geografis di Indonesia Timur yang sangat kompleks permasalahannya di mana dengan kekuatan fisik untuk mendapatkan uang atau makanan sehingga komunitas ini tertarik dengan profesi ini karena dengan kekuatan fisik dapat menghasilkan uang namun sangat menggiurkan karena dapat memperoleh komisi dalam jumlah yang besar.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh instansi terkait permasalahan ini. Namun hal itu selalu terganjal oleh operasionalisasi di lapangan. Kenyataannya, ketika peraturan mengenai penggunaan jasa penagih hutang yang lahir pada tahun 2009, namun pada tahun 2010 terjadi kasus yang cukup menghentak dunia perbankan nasional. Yaitu dengan tewasnya Irzen Octa karena ulah debt collector. Ia tewas setelah mengkonfirmasi tagihan hutangnya yang membengkak. Kematian Sekjen Partai Pemersatu Bangsa itu pun semakin mempertajam pandangan mengenai eksistensi debt collector di Indonesia.
Meskipun terdapat perusahaan penyedia jasa penagih hutang seperti PT Bareta Indojasa yang mengklaim memiliki prosedur yang jelas mengenai modus penagihan hutang seperti tidak diperbolehkannya seorang DC melakukan pelanggaran hukum sewaktu beroperasi, membawa Surat Kuasa, sampai kepada pemakaian seragam. Namun, kekerasan demi kekerasan yang telah terjadi ketika sang debt collector melaksanakan tugasnya di lapangan, membuat profesi ini mendapat apresiasi “miring” di masyarakat. Hal ini terbukti dari laporan yang diterima oleh YLKI bahwa pada tahun 2005 terdapat sekitar dua ribuan keluhan yang semuanya berkaitan dengan perilaku debt collector saat melakukan penagihan hutang[6]. Ini hanya segelintir laporan yang diterima, karena sesungguhnya permasalahan kekerasan fisik yang dilakukan oleh DC bukanlah berita baru. Hanya saja, keluhan-keluhan yang kerapkali berada pada kolom-kolom pembaca di surat kabar dan media online dianggap sebagai angin lalu dan mencuat lantaran tewasnya Irzen Octa.
Menurut sudut pandang kriminologi interaksionis, maka debt collector yang semula hanya ditugasi untuk menagih hutang namun karena kerapkali melakukan kekerasan saat beroperasi dan hal itu berulang-ulang, maka masyarakat yang melihatnya atau kreditur-kreditur yang mengalaminya kemudian memberikan label atau cap atas hasil interaksi DC ketika menagih hutang. Bahwa DC identik dengan profesi yang tak terpisahkan dari kekerasan. Ditambah dengan para DC yang rata-rata memiliki postur tubuh yang besar, kekar, berkulit gelap, berjaket hitam, bahkan para agen seperti memfavoritkan orang Indonesia Timur untuk di daulat menjadi DC. Sehingga ciri-ciri fisik tersebut semakin menguatkan image terhadap para DC dengan pribadi yang keras, bengis, kasar, ataupun image negatif lainnya. Semuanya itu adalah hasil interaksi masyarakat khususnya yang pernah berurusan dengan mereka sehingga menghasilkan cap atau label.
Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut kekerasan yang kerapkali dilakukan oleh DC terjadi karena luapan emosi DC yang diakibatkan kreditur yang mengulur-ngulur janji. Sehingga karena DC kelelahan dan bosan dengan janji itu, akibatnya kekerasan itu pun terjadi atau dalam bentuk ancaman dan gertakan. Padahal, tidak ada prosedur pemukulan atau ancaman dalam prakteknya di lapangan. Menurut keterangan seorang DC, yaitu Bewok bahwa terkadang ada pula kreditur yang telah siap siaga untuk melawan DC seperti melapor polisi atau menyewa tukang pukul untuk melawan DC.[7] Namun, kita semua sepakat bahwa hal itu bukan menjadi alasan pembenaran akan tindak kekerasan.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, menurut penyusun untuk menghilangkan label sebagai penjahat atau profesi yang identik dengan kekerasan, maka segala bentuk kekerasan saat menjalani profesi debt collector harus diminimalisir, jika perlu dihilangkan. Jika tidak, maka cap atau label yang diberikan tersebut akan semakin melekat pada profesi tersebut.
Seperti telah disinggung di atas bahwa, debt collector dan bank merupakan dua hal yang saling membutuhkan. Ketika bank kesulitan menangani para kreditur nakal atau , maka tentunya memilih jasa debt collector sebagai jalan terakhir. Tentunya tidak dengan kekerasan. Walau bagaimanapun, ada hak milik bank yang terdapat dalam kreditur yang menjadi hak bank untuk diambil. Namun tentunya pihak bank dan debt collector harus memenuhi kewajiban bahwa setiap manusia memiliki hak asasi (HAM) yang mesti dijunjung tinggi dengan tidak melegalkan kekerasan apalagi sampai hilangnya nyawa kreditur. Begitu pula dengan kreditur, perlu pemahaman yang bijak mengenai penggunaan kartu kredit sesuai dengan kebutuhan. Karena kartu kredit bukanlah “kartu ajaib” yang dapat mengabulkan segala keinginan dengan sekali gesek, karena dibalik kemudahannya terdapat hutang yang harus kita bayar dan itu pun dengan bunga bank yang terbilang tinggi. Para debt collector pun semakin dituntut untuk bekerja lebih professional yang berlandaskan etika, humanis, dan mengesampingkan kekerasan. Debt collector sebenarnya tak perlu dibumihanguskan, karena walau bagaimanapun, para debt collector juga manusia yang perlu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjalani profesi sebagai penagih hutang.
Sesungguhnya kekerasan yang dilakukan oleh debt collector tidak akan terjadi jika kita mampu memenuhi janji kita pada mereka dan tentunya dengan penggunaan yang bijak atas kemudahan bertransaksi dengan kartu kredit. Kita semua mengetahui bahwa intinya, janji adalah hutang dan hutang harus di bayar. Sekali lagi, ini menjadi tuntutan bagi debt collector agar tidak mengedepankan emosi serta kekerasan dalam menjalani tugas sebagai juru tagih jika ingin label sebagai profesi yang lekat dengan kekerasan akan hapus dari benak masyarakat luas.
      


[1]Muhammad Mustofa,Kriminologi Kajian sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum,(Depok:FISIP UI PRESS,2007),edisi pertama,hal 85
[2]http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/debtcollector-citibank-bunuh-penunggak-kartu-kredit.html diakses pada tanggal 30 April 2011 Pukul 17:40 WIB

[3]http://metro.vivanews.com/news/read/215784-temuan-baru-pemicu-kematian-irzen-octa  diakses pada tanggal 30 April 2011 Puku 18:02
[4] http://www.facebook.com/topic.php?uid=10150098990530484&topic=13457&post=69189 diakses pada tanggal 30 April 2011 Pukul 15:17 WIB
[5] http://www.facebook.com/note.php?note_id=467449696226&comments diakses pada tanggal 30 April 2011 Pukul 23:26 WIB

[6]http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2011/04/04/brk,20110404-325036,id.html diakses pada tanggal 1 Mei 2011 Pukul 11:15
[7]http://news.okezone.com/read/extend/2011/04/13/343/445384/inilah-curahan-hati-seorang-debt-collector

Tidak ada komentar:

Posting Komentar