Jumat, 10 Juni 2011

Bersembunyi Di Balik Negeri Singa


            Singapura, sebuah negara kecil namun berkembang pesat dengan patung air mancur berbentuk singa yang menjadi ikon negara itu kembali menjadi surga yang nyaman untuk para koruptor bersembunyi. Mungkin bukan bersembunyi, namun lebih tepatnya menjadi seorang pengecut yang hanya mampu mentertawakan pemerintah di balik kelemahan Indonesia karena tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan salah satu Negara maju di Asia Tenggara itu. Ya, menjadi seorang pelaku kejahatan yang hanya mampu mengeruk uang negaranya sendiri dengan cara bathil, namun ketika “ketahuan”, langsung tancap gas ke Singapura. Mula-mula dengan alasan berobat, namun tidak kunjung kembali ke Indonesia.
            Lagi, dan lagi. Pelaku kriminal “kabur” ke Singapura. Setelah mereka melanglang buana di sana, pemerintah Indonesia pun tak kuasa menangkap mereka karena terhalang oleh perjanjian ekstradisi. Lalu, apa sebenarnya perjanjian ekstradisi itu? menurut sumber yang saya ambil, perjanjian ekstradisi adalah suatu proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintah lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumannya[1]. Perjanijan ekstradisi adalah bagian dari pada konsensus dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa setiap Negara tidak memilki kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada Negara asing karena terdapat prinsip  sovereignty yaitu pada setiap Negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban inilah yang menjadi penghalang ketika seorang pelaku kriminal melarikan diri ke Negara yang tidak ada perjanjian ekstradisi, maka Negara yang dirugikan atas sang pelaku, tak mampu meminta Negara yang menjadi tempat persembunyian si pelaku untuk pulang ke negaranya untuk menjalani proses persidangan.
Inilah yang seringkali dialami oleh Indonesia. Karena otoritas dan tidak adanya kewajiban mengambalikan tersangka itulah, yang menjadikan para koruptor “betah” di Singapura. Karena ketiadaan kewajiban tersebut dan keinginan Negara lain untuk mengadili pelaku kriminal yang berada di Negara asing, telah terbentuk sebuah jaringan untuk  persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya.
            Permasalahan ini pun kembali mencuat tatkala seorang tersangka koruptor yang hangat dibicarakan, yaitu Muhammad Nazaruddin pergi ke Singapura. Dan sampai tulisan ini dibuat, mantan Bendahara Partai Demokrat itu pun tak kunjung kembali bahkan mangkir dari panggilan KPK. Masalah ketiadaan perjanjian ekstradisi dengan Singapura pun perlu untuk dipertanyakan. Permasalahan ini bukan kali pertama, sejak April 2007, sebenarnya terdapat upaya antara pemerintah Indonesia dan Singapura tentang perjanjian ekstradisi. Karena perjanjian ekstradisi dirasa sebagai upaya yang cukup ampuh untuk mengembalikan secara paksa para koruptor yang lari atau bersembunyi di negeri Singa tersebut. Upaya ini pun disambut baik oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan eksekutif maupun legislatif. Namun, akhirnya upaya perjanjian ini pun mengalami kebuntuan. Karena kedua belah pihak merasa berat hati untuk menyepakati perjanjian ekstradisi. Seperti kita ketahui, bahwa para koruptor yang lari ke Singapura tidak membawa uang yang sedikit. Pada sebuah media online dikatakan, bahwa kemungkinan uang yang dibawa oleh para koruptor mencapai 783 Triliun Rupiah. Dan kesemuanya itu mayoritas disimpan sebagai aset di Singapura. Dengan adanya koruptor yang bersembunyi di negeri Singa tersebut, sejujurnya telah membawa keuntungan bagi pemerintah Singapura. Bagaimana tidak, uang yang disebutkan tadi, akan menjadi sumber devisa bagi Singapura. Dengan kata lain, Singapura tak perlu susah payah melobby agar orang datang ke negerinya. Karena dengan tidak adanya perjanjian ektradisi, maka secara otomatis uang pun mengalir bak sungai Bengawan Solo. Inilah yang menurut sebagian kalangan yang menjadi faktor keengganan bagi Singapura untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Sebab, jika perjanjian ektradisi disahkan, maka ketika para koruptor semuanya telah “pulang kampung” dari Singapura, maka tak ada lagi income yang luar biasa dari para koruptor. Uang-uang tersebut akan dapat kembali ke kantong APBN. Inilah yang membuat Singapura berat hati melepas para “pemasok” uang haram. Lain lagi dengan Indonesia, ketika perjanjian tersebut diadakan (27 April 2007), Singapura menawarkan agar perjanjian ekstradisi, ditukar dengan kerjasama di bidang pertahanan. Penawaran ini pun cukup membahayakan bagi kedaulatan NKRI. Sebab, dalam penawaran perjanjian tersebut, Singapura dapat menggunakan Laut Cina Selatan dan Tanjung pinang sebagai aktivitas latihan militer mereka. Selama ini, Singapura melakukan latihan militer mereka di pangkalan militer di Australia, Perancis, dan Amerika Serikat. Seperti disinggung mengenai ancaman kedaulatan nasional, maka pantaslah jika ketiga Negara tersebut mengizinkan akan latihan militer Singapura. Sebab jika dilihat secara ekonomi mereka kuat dan secara militer mereka terbilang mumpuni. Sehingga Negara kecil seperti Singapura, tak ada apa-apanya bagi ketiga Negara tersebut. Lain lagi ceritanya jika disandingkan dengan Indonesia. Selain SDM (Sumber Daya Manusia) nya yang lemah, daya tawar Indonesia yang juga lemah. Membuat Indonesia memiliki posisi yang kurang menguntungkan dalam hal penawaran perjanjian tersebut.
            Namun sejujurnya, perjanjian ekstradisi tidak diperlukan jika saja penegakan supremasi hukum di Nusantara berjalan optimal, maksimal, atau bahkan sangat tegas. Khususnya bagi permasalahan kejahatan korupsi yang telah menjadi ekstra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang telah banyak merugikan setiap lini kehidupan bangsa ini. Sehingga tidak melepaskan para koruptor pergi ke Singapura meski dengan alasan berobat. Seharusnya, pemerintah khususnya aparat penegak hukum selalu mengambil hikmah dari setiap kaburnya para koruptor ke luar negeri (Singapura) dengan tidak mengizinkan mereka untuk pergi ke negeri tersebut (termasuk berobat). Namun berulangkali izin pergi ke Singapura diberikan, tentunya terdapat pertanyaan besar mengenai hal ini. Apakah ada “main-main” di balik pemberian izin para koruptor pergi ke Singapura meski dengan alasan berobat. Padahal, apakah satu-satunya rumah sakit terbaik di dunia ini hanya ada di Singapura? Masih ada RSCM yang saya rasa masih cukup baik sebagai rumah sakit yang sudah cukup berpengalaman di negeri ini. Kalaupun senyatanya koruptor tersebut memang sakit dan tak bisa ditangani oleh dokter-dokter Indonesia atau rumah sakit di SELURUH Indonesia, maka tak sepatutnya pemerintah mengizinkan para tersangka kasus korupsi untuk dapat terbang ke Singapura. Ini sebagai langkah antisipasi sekaligus berkaca pada kasus kaburnya para koruptor sebelumnya. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?.
            Intinya, perlunya kesadaran hukum bagi semua pihak. Dan ibu pertiwi beserta rakyat Indonesia sangat membutuhkan akan penegakan hukum di Indonesia. Ketika hukum sudah tegak, maka tak akan ada cerita mengenai koruptor yang bersembunyi di balik “patung singa yang memancarkan air dari mulutnya”. Sejenak saya teringat ucapan salah seorang dosen saya yang kala itu mengajar sistem peradilan pidana, beliau mengatakan “jangankan hukum di Indonesia sudah tegak, miring saja belum” selorohnya. Begitulah setidaknya komentar yang terucap dari seorang dosen.
            Sebagai seorang Muslim, saya meyakini bahwa, memang hukum yang dibuat oleh manusia selalu terbentur dengan adanya kepentingan di sana-sini. Mulai dari kepentingan secara materi maupun non materi. Seperti Singapura yang takut kehilangan devisa negaranya. Hukum manusia pun selalu terbatasi dengan adanya wilayah. Hanya karena tidak adanya perjanjian ekstradisi, seorang koruptor dapat menagguhkan “rasa” dari jeruji besi. Namun lain lagi dengan hukum yang dibuat oleh Allah. Allah tak berkepentingan dengan semua itu. Allah tak akan merugi jika 783 Triliun Rupiah melayang dari Singapura, karena Allah Maha Kaya dan kekayaannya meliputi langit dan bumi. Itulah mengapa akan tercipta keadilan yang murni di sisi Allah. Dan ingat, bahwa masih ada pengadilan akhirat yang akan dipimpin langsung oleh Allah/Tuhan. Pada pengadilan tersebut akan dirasakan keadilan yang hakiki. Tak sejengkal pun kejahatan yang tak diadili dan tak sejengkal pula kebaikan yang akan terlewatkan untuk memperoleh balasan. Wassalam.

 Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS: Al-Zalzalah : 7-8)



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ekstradisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar